Selasa, 08 September 2009

Mengenal Tentang Istisna'



Arti Istitsna





Isim yang terletak sesudah illâ atau salah satu saudara-saudaranya.





Huruf istitsna ada delapan macam, yaitu sebagai berikut:





  • contohnya seperti:

    (Kaum itu telah datang kecuali Zaid)



  • contohnya seperti:

    (Kaum itu telah datang selain Zaid)



  • , 4.

    , 5.

    artinya sama yaitu: selain.



  • , 7.

    , 8.

    artinya sama yaitu: selain.


  • I. l'rab lafazh-lafazh yang terletak sesudah huruf istitsna
    sebagai berikut:






    Lafazh yang di-istitsna dengan illâ harus di-nashab-kan bilamana
    keadaan kalamnya bersifat sempurna dan mujab.


    Kalam yang sempurna itu ialah:





    Kalam yang disebutkan mustatsna dan mustatsna minhu-nya (lafazh
    yang dikecualikan dan lafazh pengecualiannya, seperti dalam contoh:

    = Kaum itu telah datang kecuali Zaid).


    Lafazh

    adalah mustatsna minhu, sedangkan lafazh

    menjadi mustatsna-nya.


    Mujab adalah:





    Kalam mutsbat, yaitu kalam yang tidak disisipi nafi, nahi dan tidak
    pula istifham.


    Contoh:




    = kaum itu telah datang kecuali Zaid.




    = murid-murid itu telah masuk (sekolah) kecuali Bakar.


    Jadi, syarat lafazh yang di-istitsna harus di-nashab-kan
    itu ialah:



  • Kalam tam (lengkap), ada mustatsna dan
    mustatsna minhu-nya.

  • Mujab, yaitu tidak kemasukan nafi, nahi
    dan tidak pula istifham.



  • II. Kalau kalam-nya tidak memenuhi persyaratan
    tersebut, maka hal itu adalah sebagai berikut:






    Apabila kalam-nya ternyata tam (sempurna) lagi manfi
    (di- nafi-kan), maka lafazh mustatsna-nya boleh di-nashab-kan karena
    istitsna dan boleh di-badal-kan (bergantung kepada i'rab mustatsna
    minhu-nya).


    Contoh:




    = tiadalah kaum itu berdiri kecuali Zaid.


    Lafazh Zaid, boleh di-nashab-kan karena istitsna dan boleh pula
    di-badal-kan dengan memakai harakat dhammah, sebab
    mubdal minhu-nya lafazh

    berharakat dhammah.




    = aku tidak melihat kaum itu kecuali Zaid.


    Lafazh Zaid itu boleh di-nashab-kan karena istitsna, dan boleh
    dijadikan badal dari lafazh

    .




    = aku tidak bersua dengan kaum itu kecuali Zaid.


    Lafazh Zaid itu boleh di-nashab-kan karena istitsna dan boleh
    pula di-jar-kan karena menjadi badal dari lafazh

    .



    III.



    Kalau kalamnya itu naqish atau kurang (yaitu tidak diterangkan
    mustatsna minhu-nya), maka i'rab mustatsna-nya bergantung kepada
    amil-nya yang ada, seperti dalam contoh:

    (tiada yang berdiri kecuali Zaid -tidak ada mustatsna minhu-nya).


    Lafazh Zaid harus di-rafa'-kan karena menjadi fa'il
    dari lafazh;

    .




    = tiada yang kupukul kecuali Zaid.


    Lafazh Zaid harus di-nashab-kan, sebab menjadi maf'ul
    dari

    .




    = tiadalah aku bersua kecuali dengan Zaid.


    Lafazh Zaid di-jar-kan oleh huruf ba.



    IV.



    Lafazh yang di-istitsna dengan lafazh ghairu, siwan, suwan, dan
    sawâ-in harus di-jar-kan, lain tidak (sebab menjadi mudhaf ilaih dari
    lafazh ghair dan sebagainya).


    Seperti dalam contoh berikut:




    = kaum itu telah datang selain Zaid.


    (Lafazh ghair berkedudukan menjadi mudhaf, sedangkan lafazh Zaid mudhaf
    ilaih).




    = tiada ada yang datang selain Zaid.



    V.



    Lafazh yang di-istitsna oleh khalâ, 'adâ dan hâsyâ, boleh
    di-nashab-kan (dengan menganggap khalâ dan sebagainya sebagai fi'il
    madhi dan mustatsna maf'ul-nya) dan boleh pula di-jar-kan (sebagai
    mudhaf 'ilaih dari lafazh khalâ dan sebagainya), seperti dalam contoh:
    (lp
    39-40) (Kaum itu telah berdiri selain Zaid. Contoh lainnya sepertl:

    (Kaum itu telah datang selain Zaid dan selain 'Amr) dan sebagainya.



    Kata nazhim:





    Keluarkanlah (kecualikanlah) dengan huruf istitsna dari kalam
    (yang mendahului) sesuatu yang dikecualikan hukumnya dan hal itu telah
    termasuk pada lafazhnya.





    Lafazh yang berfaedah bagi istitsna itu meliputi illâ, ghairu, suwan,
    siwan, sawâ-in,





    Khalâ, 'adâ, dan hâsyâ, maka nashab-kanlah dengan illâ lafazh yang
    dikecualikannya bilamana kalamnya bersifat tamam lagi mujab.





    Apabila istitsna itu ternyata dari kalam tamam yang mengandung nafi,maka
    badal-kanlah dan di-nashab-kannya dianggap dhaif.





    Kalau ternyata istitsna itu dari kalam naqis (yang tidak ada
    mustatsna minhu-nya), maka lafazh, illâ di-ilgha-kan (tidak beramal).
    Adapun amil-nya dipencilkan (yakni, harus beramal pada mustatsna-nya).





    Mustatsna boleh di-khafadh-kan secara mutlak sesudah huruf istitsna yang
    tujuh sisanya (yaitu, khalâ, hâsyâ dan sebagainya).





    Di-nashab-kan, juga dibolehkan bagi yang menghendakinya, yaitu dengan mâ
    khalâ, mâ 'adâ, dan mâ hâsyâ.



    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar